Bau minyak tanah. Bau itu seolah mengingatkanku pada peristiwa kelam matinya polisi oleh piuh pilin. Ketika itu langit gelap. Mendung. Hembusan angin menggunung. Menerbangkan selembar kertas, menghempasnya lekas-lekas. Riuh ke kiri, riuh ke kanan. Kertas itu mendarat di pangkuan sang tuan. Musafir pembawa lentera. Lampu cemprong yang renta.
Diambilnya sebatang korek. Dipercikkan, lalu melahap seluruh ujung sumbu cemprong. Tangki-tangki tua menguap, sudah kenyang meminum liun sulingan. Tongkat renta itu mulai berdiri. Menuntun tuan kaki menapak mengikuti terbangnya pesawat kertas. Dilihat dari arahnya, pesawat itu menuju ke kompleks perhimpunan Jenderal Gempal.
Di rumah pertama—bukan rumah Jenderal Gempal, tapi Letkol Bentol. Rumahnya berdinding bata dengan balutan emas yang kelas. Bergarasi luas dengan Jeep Wrangler Rubicon dan deretan Harley sebelas.
Disorotnya ujung garasi. Tepatnya Jeep Wrangler Rubicon. Lampu-lampu itu seolah berkedip, sarat dengan surat untuk Musafir. Didekatinya pelan-pelan. Disorotlah kembali lampu mobil itu. Perih. Cahaya cemprong menyakiti mata Rubicon. Sontak ia berkedip kembali.
Rubicon menggeram kesakitan. Wajahnya pucat. Tersirat sepucuk surat yang diisyaratkan. Tragedi penganiayaan mahasiswa oleh anak Letkol Bentol. Dulu Letkol sekarang berjuluk AKBP. Mahasiswa itu dihempas, dibanting, dan diseret. Lampu mobil melukiskan tragedi itu lewat air mata yang berjatuhan membentuk gugusan lengas-lengas. Bukan perasaan tapi air radiator. Tergambar wajah anak Letkol yang dungu dan badung. Read More
Lampu itu menutup mata. Ketika jabatan seumur jagung dijadikan semburan untuk menghanguskan mahasiswa. Berlindung di balik layar yang terang. Tetesan kedua, menyirat penyebab terjadinya penghangusan mahasiswa itu. Perebutan seorang wanita karena nafsu cinta. Namun, apalah daya, mahasiswa malang itu terlanjur terkapar tak berdaya.
Rubicon menggeram kesakitan lagi. Tetesan yang ketiga keluar dari sorot lampunya membentuk gugusan sandyakala. Langit semakin murung dan gelap gulita. Pekat dan pengap. Tetesan air mata itu tak kunjung reda. Menetes dan menggunung. Melahap layar bening tempat persembunyian Letkol Bentol dan menenggelamkannya sampai ke ujung samudera.
Rubicon berkedip lekas-lekas. Napasnya tak urut. Imbas dari percikan air yang menetes ke busi. Mengamuk dan menendang pesawat kertas menuju rumah biru depan garasi.
***
Musafir terkejut, cepat-cepat meraih lampu lentera agar tak tepercik oleh air. Langit meredup gelap. Pekat dan pengap. Diarahkannya cemprong tua ke rumah biru, depan rumah Letkol Bentol, cahayanya menyorot pelan. Rumah biru itu membisu dalam kesepiannya. Tertutup rapat dan gelap. Terkabar, rumah itu milik jenderal pengedar sabu yang tajir melintir. Namun, pengap. Semenjak Jenderal Sabu pergi tengkulak Metamfetamin.
Rumah biru itu dalam kesendirian. Jendela kembarnya berjejer, tersekat oleh pintu. Terdapat lubang anjing di tengahnya dari papan jati. Terlukis wajah yang nampak murung. Disorotnya jendela kembar itu. Sontak ia terkejut. Tiada angin dalam lekasnya. Jendela tua berkedip naik-turun dengan sendirinya. Bersedih dan membayang. Pintu itu menyirat surat kepada Musafir.
Diejanya pelan-pelan. Tragedi hutang kosong terlontar dari mulut pintu itu. Musafir mulai tertegun mendengar kisah fiktif yang pintu ceritakan. Apakah sebenarnya hutang kosong itu? Negara sebesar lubang kancing mana mungkin tidak memiliki hutang? Negara dengan emas melimpah saja terlilit hutang setinggi bukit.
Baca Juga: Kelereng Kusut: Piala Dunia yang Surut
Celoteh pintu rancu, menyirat kebusukannya dalam sabu-sabu. Disorotnya penuh-penuh oleh Musafir. Matanya terpejam, lalu terbelalak. Tergambar jendela merah di rumah biru. Mungkin efek sisa sabu edaran sang Jenderal—barang jualan yang tercecer puyer. Lembut seperti gula.
Disorotnya ujung pintu dekat lantai. Hamburan sabu tersebar buyar, menyeluruh di kaki rumah. Jendela itu merengek, meneteskan air mata membentuk gugusan Yama—dewa kematian. Jenderal Sabu berlindung di balik jabatannya. Namun, jabatan itu sebening plastik. Setipis keadilan yang dirasakan rakyat. Laku busuk Jenderal Sabu pun terendus juga.
****
Datang seekor anjing dari lubang pintu. Membawa pesawat kertas menuju rumah putih di ujung pertigaan itu. Tangannya meraih pelan. Musafir mengejar anjing Labrador Retriever dengan menenteng lampu minyak dan tongkat renta di sebelah kanannya.
Berlari. Hingga ke ujung mulut gang—tepatnya di pertigaan kompleks. Anjing Labrador mengendus bau mayat di dalam rumah putih itu. Namun, langit sangat gelap. Pekat dan pengap. Penglihatan Musafir samar-samar. Ia memberanikan diri membuka gerbang rumah itu. Disorotnya lamat-lamat. Tergambar tiga orang—dua di antaranya Jenderal Gempal. Samar-samar. Jenderal itu menyeret, memasukkan mayat ke dalam mobil jenazah. Dikemudikannya lekas-lekas, melaju dengan gesitnya.
Disorotnya dinding, bekas penembakan tadi siang. Membekas tiga letupan peluru mengenai dinding. Tubuhnya cacat-cacat. Lantas ia mencari kamera pantau—CCTV. Namun, kamera itu malah melukiskan duel adu tembak Brigadir J dengan Baradha E. Dengan dalih kasus pemerkosaan istri jenderal oleh sang ajudan.
Diperiksanya kamera sorot lain, tetapi nihil. Sepanjang jalan kompleks, kamera sorot tertidur dengan pulas. Mendengkur keras. Hingga suara bedil tak terdengar jelas. Kepergian CCTV ke alam fana membuat tubuh Brigadir J terbunuh oleh peluru. Rencana Jenderal Sanco sukses besar.
Kesigapan Jenderal Sanco memberikan obat tidur pada CCTV mengantarkan skenario pembunuhan berencananya memenangkan penghargaan citra. Memecahkan rekor muri—citra polisi terbusuk. Alibinya membuat rakyat Rakenda tertipu dungu.
Disorotnya bekas tembakan di tubuh dinding oleh Musafir. Dirabanya pelan-pelan. Ia sontak berpikir. Apa benar sebuah dinding mampu membunuh seorang polisi. Disorotnya kembali, lantas ia terkejut. Dinding itu berkedip. Dinding merengek kesakitan. Tubuhnya tatu, terlubangi oleh peluru. Jenderal Sanco tersenyum kaku. Menuduh dinding sebagai pelaku. Berdalih membisu—justru dinding itu sendiri sebagai babu. Babu yang tertindas—selayaknya dianggap korban.
Jenderal waras mana yang menjadikan dinding sebagai pelaku? Alibinya menyesatkan. Dinding mulai terbuka kepada Musafir. Ia menceritakan awal mula tragedi adu tembak yang dibuat-buat. Berawal dari fitnah pemerkosaan hingga penunjukan dinding sebagai saksi. Namun, dinding menolak. Ia dipaksa bungkam sebagai saksi dengan imbalan lima ratus juta yang diserahkan sejak terbunuhnya Brigadir J. Ia bercerita bahwa Brigadir J disiksa, diseret, dan dibanting. Tragis, seorang polisi juga ikut membantu. Barade E melecutkan sejumlah peluru ke kepala Brigadir J, dengan dalih mengikuti perintah atasan—tidak berani menolak. Dinding itu menangis histeris.
Matanya menyorot lembaran restorative justice. Musafir sontak tertegun, restorative justice harusnya diberikan kepada dinding karena telah mengungkap kasus tersebut. Namun, apalah daya, mana mungkin benda mati mendapatkan keadilan, sedangkan makhluk hidup saja mati sia-sia. Restorative justice itu justru diberikan kepada Barada E—kenyataan yang menggelikan. Seorang pembunuh malah diberi keringanan.
Dinding menangis lagi. Air matanya menggenang berang. Terlukis kebohongan Ibu CP, isteri jenderal pembunuh. Tetesan kedua membentuk gugusan kebohongan Jenderal Sanco. Terlukis motif pembunuhan berhulu pada dendam. Jendral Sanco adalah polisi kelas kakap. Namun, kenyataannya ia berlindung di balik jabatannya. Lekat-lekat. Berengsek. Semua pencitraannya busuk. Mana mungkin seorang pembunuh menyandang gelar Kadiv Propam. Polisinya polisi. Aparat keparat.
Dinding menceritakan lagi kelakuan Ibu CP kepada Brigadir J. Mata genit, sedikit sipit, tapi legit. Kelakuan CP mengundang amarah Jenderal Sanco. Ia melecutkan tiga tembakan ke arah Brigadir J. Seketika, polisi itu meninggal di tempat. Kematiannya dikabarburungkan. Semua itu palsu, Jenderal dungu. Kebohongannya itu justru membawa petaka.
Hakim memvonis Jenderal Sanco dengan hukuman mati. Sedangkan Ibu CP, harus menginap dua puluh tahun di hotel prodeo. Nasib yang malang, seorang pembunuh malah divonis satu setengah tahun—ulah restorative justice yang dungu. Apakah ini yang namanya keadilan? Bukannya keadilan menjebloskan seluruh kartel pembunuh ke penjara? Selama-lamanya, bahkan hingga mati. Namun, perlakuan ini tak diberikan kepada Barada E. Ia tak tahu apa-apa, semua ini karena perintah. Ia menerima keringanan karena telah membongkar alibi busuk Jenderal Pembunuh.
Dinding lalu terdiam. Suasana semakin sunyi. Hembusan angin lekas-lekas. Nyala lentera semakin redup. Gelap dan pekat. Dinding menitipkan sepucuk pesan kepada Musafir. Memastikan Jenderal Sanco terbunuh oleh kebohongannya sendiri. Dinding lalu mengejang, dan mati. Musafir tertegun. Apa keadilan itu sudah benar? Mana mungkin seorang korban mendapat keadilan jika pelakunya sendiri penegak hukum. Dinding yang malang. Kau tak mendapatkan sedikit pun keadilan. Apalagi Brigadir J—jiwanya selalu menghantui keadilan.
Musafir mulai lelah. Dengan sedikit sisa tenaganya, ia berjalan menuju gubuk tua di seberang kompleks jenderal. Matanya terkantuk-kantuk dengan sedikit lamunan. Apakah Jenderal Sanco benar-benar dihukum mati? Nyala cemprong meredup, seakan menjawab lamunan itu.
Musafir memutuskan rehat sejenak di gubuk tua hingga menjelang fajar tiba. Sambil mengisi minyak liun, minuman kesukaan cemprong. Musafir mulai berbaring dan tidur dengan lamunan samar-samar. Apakah Jenderal Sanco benar-benar di hukum mati? Mengapa kabarnya sekarang ini menghilang? Apakah benar keadilan itu hanyalah fana? Lamunan itu mulai memudar. Semenjak bulan bundar dilahap gelapnya malam.
*Kasus anak AKBP Achiruddin Hasibuan yang menganiaya mahasiswa
*Kasus Jenderal Sabu yang menjerat Jenderal Tedy Minahasa
*Kasus Jenderal pembunuh yang menjerat Jenderal Ferdy Sambo, istri, dan komplotannya
Samirono, 21 Mei 2023
Editor: Dhea Arini Putri