Advertisement Section

Kesenian: Antara Aku dan Kau #1

Malam ini aku sangka diriku telah mabuk mata gadis. Tiga dari total empat jam pertunjukan, aku dibawa ke berbagai ruang mata perempuan beserta perasaan-perasaannya. Hal ini membuatku terseyum sendiri dalam perjalanan pulang.

Sebuah pesta kelahiran komunitas teater di salah satu perguruan tinggi Jogja yang menyuguhkan pentas-pentas monolog. Pencermatanku, hampir semua penonton berasal dari ranah yang sama, yakni kaum teater atau umumnya pegiat seni.

Hal itu ditegaskan dengan gaya berpakaian mereka yang mempunyai konotasi demikian (ya, meskipun agak cenderung bernuansa steriotip, namun mau tidak mau kita harus mengakui bahwa ada kecenderungan tersebut).

Dan aku menyimpulkan, bahwa malam ini panggung ibarat ibu bagi wacana perempuan. Dia dengan sabar dan tabah mendengarkan aktor yang ibarat teks-teks kesengsaraan. Namun sayangnya, penonton tak lebih dari iblis!

Bisa-bisanya mereka menertawakan adegan-adegan yang menyedihkan dan perlu perhatian. Seperti halnya pemerkosaan, pemelacuran dan sebagainya. Belum lagi blitch-blitch kamera handphonenya yang sesekali membuyarkan fokus aktor.

Kemudian penyakit kecilku kambuh. Membuat imajinasi yang heroik. Membayangkan aku seharusnya aku membentak mereka, ketika peristiwa itu terjadi. Lalu aku berjalan menuju arah panggung dengan sebuah naskah di tangan. Balik kanan menghadap penonton dan dengan lantang aku bacakan puisi Batas Panggung karya Wiji Thukul. Tapi, ah sudahlah!

Mungkin mereka punya pendapat sendiri menanggapi tiga naskah drama ini: Marsinah karya Ratna Sarumpaet, Mak karya Putu Wijaya, dan Surti dan Tiga Unggas karya Gunawan Mohammad. Ataukah memang respon seharusnya demikian? Kemudian akhirnya apa fungsi utama pertunjukan kalau memang demikian.

Sesampainya di kos, Si Boneng mengumpat-umpat tak jelas. Kemudian dia aku tanya dan bilang sedang sebal dengan konser Festivalis malam ini di parkiran Amongrogo. Ada penonton yang baku hantam katanya. Apalah dayaku, spontan aku tertawa ngakak teringat lagu-lagu band tersebut.

Ya, memang semua di dunia ini multitafsir dan tidak ada kebenaran yang mutlak. Bukannya lirik-lirik lagu Festivalis itu cengeng-cengeng. Begitupun nadanya melayu banget. Dalam hati, “kok bisa?” coba saja dengar dan cermati lagu Mati Muda.

“Iya po gitu?” sahut Boneng.

Aduh ini anak sama saja ternyata, dalam batinku.

Miris. Aku membayangkan bagaimana respon para punggawa band di atas panggung waktu itu. Muka-mukanya pasti kecut. Kaget dan kecewa, karena itu merupakan bukti bahwa ideologi grup band tidak tersampaikan. Dan benar, kata Boneng vokalisnya, Si Farid Stevy, naik pitam. Umpatan-umpatannya berhamburan.

Memang sulit memahami lirik-lirik Festivalis, karena band ini termasuk salah satu band yang memanfaatkan dan memainkan kekayaan Bahasa Indonesia. Sehingga perlu sesi pengendapan makna dari lirik-lirik lagu. Artinya, band ini sudah menentukan pasarnya sendiri, namun nyatanya banyak penonton yang memaksa (ikut-ikutan: trend). Ini lah cerminan masyarakat. Terbawa arus, tanpa ngerti tujuan arus tersebut. Begitupun dalam ranah wacana politik, sosial dan bidang lainnya.

 

sumber gambar: kaskus

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Previous post Sastra Indonesia Melangsungkan PMK 2017
Next post Menyoal Kasta Melalui Fiksi: Tarian Bumi