Mereka yang Terbelenggu di Kamis ke 300
Mereka menghilang bukan karena keinginnanya, tapi karena terbelenggu pada kami yang tak terbelenggu!
Isu pelanggaran HAM yang terjadi di masa orde baru menciptakan sebuah karya sastra dari salah satu anak bangsa, Happy Salma. Kamis ke 300 merupakan film hasil adaptasi dari cerpen berjudul Kamis ke 200 kabar telah diterbitkan pada salah satu surat sekitar tahun 2010-an. Naskah yang digunakan dalam film ini ditulis langsung oleh salah seorang sastarawan Indonesia yaitu Putu Wijaya.
Film dengan latar waktu Mei 2013 dengan durasi 13 menit itu diawali dengan adegan seorang pria tua (Amoroso Katamsi) tengah masalah terlihat begitu cemas. “Baju hitammu mana? Payung?”, berikut merupakan satu dialog yang dilakukan pria tua tersebut. kemudian mulai berorasi mengenai rasa kehilangannya pada sang paman yang telah menghilang. “ Aparicion con vida!” teriaknya yang kemudian diikuti oleh sang cucu. Tokoh kemudian bercerita mengenai aksi kamisan yang dilakukan para wanita dalam kasus pelanggaran HAM di Argentina yang menuntutnya orang-orang yang hilang. Ternyata, kasus ini sama dengan yang terjadi di Indonesia beberapa tahun silam. Sang tokoh kemudian meminta untuk dikembalikannya mereka yang menghilang.
Adegan selanjutnya menggambarkan dokumentasi warga Indonesia yang berorasi dengan membawa foto mereka yang menghilang. Payung hitam positif “Semanggi II”, kumpulan foto yang ditempel, gambar didemonstrasikan, dan suara tembakan menjadi seperti sebuah kilas memori tokoh utama.
Pada akhir cerita terlihat yang mencoba pergi dari ranjangnya dengan rentetan kilas balik masa lalunya yang kelam. Penyekapan dengan menutup wajah menggunakan kain dan tontonan yang dilakukan sekelompok itu membuat para tokoh yang sedang manusia menjadi jaringan. Kemudian kilas balik itu berhenti dan datanglah dari arah pintu seseorang dengan celana jeans dan payung hitam mengungkapkan pria tua yang kini terjatuh ke tanah.
BACA JUGA: Perjamuan Khong Guan Jawaban atas Hilangnya Ayah Khong Guan
Latar Belakang Film
Film Kamis ke 300 konflik sekitar tahun 1998-1999, yang mana pada saat itu terdapat pelanggaran HAM yang dilakukan pihak aparat kepada warga sipil. Kerusuhan ini berawal dari aksi yang dilakukan oleh para mahasiswa dan para aktivis. Aksi mahasiswa dalam sidang Istimewa MPR 1998 tentang penelitian BJ. Habibie dan masalah dwifungsi ABRI ini akhirnya tragis. Penembakan dan penculikan yang dilakukan terhadap para demonstran ini kemudian dikenal dengan sebutan “Tragedi Semanggi”. Para keluarga korban kemudian melakukan aksi “Kamisan” di halaman Istana Merdeka dalam rangka menuntut pemerintah memberikan keadilan bagi para korban yang hilang atau hak asasinya.
Kamisan yang dilakukan para keluarga korban Tragedi Semanggi ini, terinspirasi dari pergerakan yang dilakukan para kaum ibu di Plaza de Mayo, Buenos Aires, Argentina. Aksi para ibu di Plaza de Mayo ini dilakukan setiap hari selasa sejak tahun 1977 yang berlangsung selama 23 tahun.