Mitos Kecantikan Perempuan Dalam Bingkai Perfilman
Kecantikan adalah kata yang identik dengan perempuan. Selain menjadi tolok ukur bagaimana seseorang terlihat di masyarakat sehingga kecantikan sangat diidam-idamkan perempuan. Bahkan, mereka rela melakukan hal ekstrem, seperti diet ketat, mengubah penampilan, hingga operasi pelastik. Hal tersebut dianggap sebagai upaya untuk memenuhi standar mitos kecantikan yang ada.
Menurut Naomi Wolf dalam buku nya Beauty Myth, dia mengatakan bahwa mitos kecantikan lahir dari idealisasi yang melayani tujuan dan kepentingan tertentu. Dengan kata lain, standar tertentu dibuat untuk memuaskan suatu golongan dan mengukuhan atas dominasi laki-laki terhadap perempuan. Ukuran ideal ini seringkali membuat perempuan terpenjara dalam ketidakpuasan terhadap tubuhnya. Mengesampingkan hak berpakaian secara bebas untuk memenuhi tuntutan pasar dan industri periklanan.
Selain melalui media massa dan industri periklanan, konsep Beauty Myth yang paling masif dan ampuh justru beredar lewat perfilman. Seorang pekerja film Amerika, Ashley Hasz, mengatakan film sebagai media yang memiliki sebuah kekuatan untuk membangun isu dan membentuk pandangan manusia secara global. Film memiliki impact strategy yang berpengaruh pada perilaku serta persepsi masyarakat. Film Filosofi Kopi melahirkan banyak penikmat kopi baru. Setelah film 5cm tayang, kegiatan mendaki gunung menjadi tren di masyarakat. Begitupula dengan standar kecantikan yang dipengaruhi perfilman.
Film-film tentang mitos kecantikan biasanya menghadirkan cerita tentang seorang perempuan yang mengalami penolakan dari masyarakat sehingga mendorongnya untuk mengubah penampilan menjadi cantik. Metode transformasi yang dihadirkan sesuai dengan standar kultur masing-masing tempat.
Dalam film Imperfect: Karir, Cinta, dan Timbangan, mengisahkan tokoh utama bernama Rara yang selalu dibandingkan dengan adiknya. Lulu, adik Rara yang langsing dan berkulit putih mendapatkan gen dari ibunya yang merupakan mantan model, sementara Rara mendapat penampilan fisik mirip ayahnya sehingga gendut dan berkulit legam. Rara juga sering mendapat body shaming dari rekan kerjanya yang membuatnya tertekan. Rara akhirnya memutuskan untuk diet dan mengubah penampilan dikarenakan mengejar promosi dalam kariernya. Kita mengetahui bahwa standar kecantikan utama di Indonesia adalah tubuh yang lansing. Oleh karena itu, film ini menunjukkan diet sebagai metode transformasi yang digunakan.
Baca juga: Mendeskripsikan Makna Cantik dalam Balutan Sebuah Luka
Konsep yang serupa terdapat dalam drama korea Birth of Beauty. Berkisah tentang kehidupan malang yang menimpa Sa Geum Ran. Ia mempunyai tubuh gemuk dan tidak cantik, suaminya berselingkuh dengan perempuan muda yang cantik. Ia juga diperlakukan buruk oleh mertua dan iparnya. Sampai suatu saat, ia mengalami kecelakaan. Banyak orang termasuk keluarga suaminya mengira dia meninggal dunia, tetapi nyatanya dia masih hidup dan mengubah total penampilan dengan cara operasi plastik. Menjalani kehidupan baru sebagai Sara, Geum Ran menyusun rencana untuk balas dendam pada suaminya. Berhubung Korea Selatan merupakan negara yang mempopulerkan istilah operasi plastik, maka itulah yang menjadi metode transformasi dalam film ini. Standar kecantikan di Korea Selatan sebenarnya cukup kompleks, mulai dari tinggi badan proposional, kulit putih seperti porselen, bentuk badan langsing dan padat seperti huruf S, bentuk wajah kecil, hidung yang tinggi, hingga kelopak mata ganda. Standar yang tinggi ini dapat dicapai menggunakan prosedur operasi yang mengubah bentuk wajah hingga tubuh.
Berbeda lagi dengan film a Little Thing Called Love. Film yang berasal dari Thailand ini menjadikan perubahan warna kulit sebagai metode transformasi tokoh perempuannya dalam rangka mengambil hati sang tokoh utama laki-laki dalam film tersebut. Nam (tokoh utama perempuan) jatuh hati dengan senior di sekolahnya, Shon. Terjebak dalam mitos kecantikan di masyarakat tempat dia hidup, Nam pun akhirnya mengubah penampilan mengikuti standar kecantikan agar mendapatkan hati Shon. Alur film ini didominasi oleh usaha Nam mengubah penampilan dengan mengubah warna kulitnya yang hitam perlahan-lahan menjadi putih. Tidak ada prosedur operasi plastik maupun diet ekstrem, hanya menggunakan latar belakang standar kecantikan bagi masyarakat di mana film ini diproduksi.
Ketiga film tersebut menunjukkan bahwa sebenarnya tidak ada konversi atau standar baku mengenai penampilan para perempuan. Walaupun selalu ada upaya untuk memenuhi standar agar terlihat baik di masyarakat. Kecantikan sejatinya adalah produk kultural yang subjektif serta merupakan kualitas dari simbol yang diinginkan pada periode dan masa tertentu. Pada 1950-an, Marilyn Monroe dengan tinggi 163 cm dan berat 67 kg merupakan ikon kecantikan di seluruh dunia. Ukuran ini jauh dari kata langsing jika dibandingkan dengan standar yang ada sekarang. Lalu, pada 1970-an saat Audrey Hepburn berhasil menyita perhatian industri perfilman, standar berubah mengikuti fiturnya yang memiliki tinggi 170 cm dengan berat badan hanya 50 kg.
Dengan begitu, standar kecantikan sebenarnya hanyalah mitos karena bersifat relatif dan subjektif. Mitos ini, bagaimanapun juga, bisa menjadi hegemoni maskulinitas yang memarjinalkan perempuan. Dalam film a little Thing Called love, serta beberapa film lain seperti 200 Pounds Beauty dan Love for Beginners, transformasi ditujukkan untuk memenangkan hati laki-laki. Seakan-akan kecantikan adalah syarat untuk dapat dicintai. Masyarakat seringkali melupakan fakta bahwa perempuan bukan hanya sebuah objek melainkan juga manusia, dan manusia adalah mahluk yang kompleks. Tidak mungkin hanya kecantikan yang dinilai sebagai keunggulan. Di sisi lain juga ada kelembutan, kecerdasan, kepedulian, wawasan, kebijaksanaan, dan masih banyak lagi. Adapun laki-laki sejati tidak akan menganggap inteligensi perempuan sebagai ancaman, karena dalam mempertahankan hubungan membutuhkan kepribadian dan pemikiran yang cocok.
Dengan begitu, standar kecantikan hanya berdasarkan penampilan fisik bukanlah nilai yang benar dan layak dipertahankan. kualitas-kualitas yang baik juga seharusnya dimasukkan dalam standar tersebut. Mengutip pendapat Mary Wollstencroft, “Wanita harus dinilai lewat kebajikan daripada keanggunan, kecerdasan daripada kecantikan.”