Advertisement Section

Perempuan di Dalam KBBI

Perempuan secara etimologis berasal dari kata per-empu-an, per artinya makhluk dan empu artinya mulia. Sehingga perempuan dimaknai sebagai seseorang yang mulia, yang pantas untuk dihargai. Itulah hal yang saya kenali selama ini sebelum membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Di dalam KBBI ada hal berbeda yang saya temui. Pengertian perempuan di sana dikaitkan dengan ciri-ciri biologis, di mana mereka memiliki vagina, dapat hamil, melahirkan dan menyusui. Saya tidak terkejut dengan pengertian-pengertian tersebut karena memang begitu adanya. Apalagi ada kata “dapat” sebelum kata hamil, yang tentunya merupakan makna berpotensi, bukan sebuah keharusan. Jadi, bagi mereka yang belum diberikan anak oleh Sang Pencipta, atau memilih untuk tidak memiliki anak tetaplah seorang perempuan.

Frasa-frasa buruk yang lekat pada “perempuan”

Hal yang menjadi masalah yang membuat saya bertanya-tanya adalah gabungan kata/ frasa yang menjadi entri dari kata perempuan.  Dalam KBBI, ada 9 frasa yang berkonotasi negatif yang menjadi entri dari kata perempuan. Kata “perempuan” disandingkan dengan kata-kata seperti geladak, jahat, jalanan, jalang, jangak, lacur, lecah, nakal dan simpanan.

Dari semua gabungan kata di dalam KBBI tidak ada satu pun frasa yang berkonotasi positif.  Tentunya hal itu membuat mereka tersinggung dan mempertanyakan mengapa hal itu bisa terjadi.

Frasa-frasa itu juga yang menjadi isu panas pada bulan Febuari kemarin, di mana Komnas Perempuan, aktivis dan banyak perempuan mengkritik gabungan kata yang berkonotasi negatif tersebut. Bahkan beredar kaos yang tertulis, “Ganti penjelasan kata perempuan dalam KBBI” serta 9 gabungan kata tadi diberikan garis merah. Kritikan tersebut merupakan suara mereka yang merasakan ketidakadilan dalam 9 frasa tersebut.

Menurut mereka, kata-kata tersebut membawa stigma negatif terhadap mereka. Saya juga merasakan hal tersebut, ketika ada pamflet seminar untuk mengkaji kata perempuan dalam KBBI, saya langsung membuka KBBI dan merasakan sesuatu yang tidak enak ketika melihat gabungan kata yang tertera di sana. Apakah tidak ada gabungan kata lain yang lebih positif? Atau bisakah berimbang antara konotasi positif dan negatif mengingat hidup ini ada yang baik dan ada juga yang buruk?

 

Baca juga : “The World of the Married” Menyentil Dunia Patriarki

Dampak yang ditimbulkan

Kritikan-kritikan tersebut kemudian dijawab oleh Badan Bahasa. Pemred KBBI Mendikbud Dora Amalia, dilansir dari Kumparan, beliau menjelaskan bahwa gabungan kata di dalam entri perempuan tersebut sangat mudah ditemukan dengan frekuensi penggunaan yang tinggi di dalam korpus. Maka mereka tetap mempertahankan itu sebagai fakta kebahasaan dan gambaran jujur dari kondisi masyarakat. Frasa itu bisa berubah dengan alami jika stigma masyarakat terhadap perempuan berubah.

Penjelasan tersebut benar adanya, bahasa memang adalah gambaran jujur dari kondisi masyarakat. Tetapi perlu kita ingat, bahasa juga dapat menggiring opini dan pemahaman tertentu dalam diri manusia. Kita andaikan anak SD yang sedang belajar Bahasa Indonesia mendapatkan soal tentang makna perempuan yang harus dicari di KBBI. Kemudian, anak tersebut mencari maknanya  di KBBI cetak atau KBBI daring dan melihat gabungan kata tersebut, membukanya, dan membaca penjelasan yang terurai di dalamnya.

Maka bisa saja, ketika anak tersebut laki-laki dan pada saat tertentu ia sedang kesal dengan teman perempuannya, atau seorang anak perempuan sedang kesal dengan teman perempuannya, frasa-frasa tersebut akan keluar dari lisan mereka. Hal itu tentunya meningkatkan frekuensi frasa itu lagi di dalam korpus, sehingga pergeseran frasa negatif ke positif akan lama berganti.

Para perempuan akan merasa resah dengan hal tersebut. ‘Empu’ yang selama ini kita pahami sebagai sosok yang mulia ternyata masih dianggap sebelah mata oleh masyarakat. Sebagian besar dari mereka mencoba mengubah stigma negatif itu dengan tindakan, seperti mengaktualisasikan dirinya, menempuh pendidikan yang tinggi, tetapi hal tersebut akan kalah dengan bacotan orang sekitar dan akan tercatat dalam korpus dengan frekuensi yang tinggi.

Pada akhirnya, mereka mempertanyakan kembali ke-empu-annya. Pandangan masyarakat pun akan sulit berubah, sebab bahasa yang hadir adalah doa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Previous post Indonesia Bergoyang, Indonesia Sempoyongan
Next post Sopan Santun Lemah: Malu dengan Penjajah