Advertisement Section

Suara Patah Hati Pertama Saya

Katanya, sederas apapun hujan menghujam bumi, akan ada masanya dia akan pergi dan berganti menjadi pelangi.

Kalian percaya akan hal itu?

Mungkin sebagian orang akan percaya dan sebagian lainnya tidak. Tapi aku, terjebak diantara keduanya. Saat ini, aku tengah berdiri di atas hamparan pasir putih dengan tawa yang hampa. Tawaku tak lagi berirama ketika baru saja aku sadar tentang kalimat yang baru saja ku gumamkan secara tak sengaja.

Bodoh sekali, dulu aku bisa percaya perkataan itu begitu saja. Nyatanya hingga detik ini saja, hujan itu masih terus menyapa di hidupku tanpa berniat untuk meninggalkanku. Hingga di usiaku yang kini menginjak kepala dua, pelangi yang aku damba belum pernah menampakkan dirinya. Entahlah, mungkin ia senang sekali bermain petak umpet denganku.

Sekali lagi, ributnya isi kepala dan getirnya perasaan yang membuatku kembali ke tempat ini. Senja hari ini, ketika semua perlahan mulai menepi, ketika tiupan sang bayu mulai berdesir menghampiri. Aku berdiri di sini, sendiri.

Sepasang mataku kini lantas beralih, yang tadinya tengah menatap kosong wajah samudra yang dibiaskan sinar jingga merah bata, kini mulai berpaling ke arah benda di dalam genggamanku. Benda yang beberapa saat lalu ku temukan dalam sebuah kotak kayu yang terselip di antara gundukan barang bekas di dalam gudang.

Sebuah alat perekam suara.

Akhirnya, senja kali ini akan kembali menjadi saksi, saat ombak Parangtritis dan segala kenangnya akan mendengar lagi sepenggal suara yang telah lama hilang. Suara dari salah satu anak bumi, yang mengajarkan banyak patah hati; akan kata bernama perih dan pergi. Mataku kini kembali menatap memperhatikan benda ditangan kananku. Kini, ada banyak sekali keraguan yang hadir di antara sesak yang menghimpit dada.

Baca Juga: Terkenang Memori Merah Jambu

Haruskah aku mendengarkannya?

Jemariku lantas bergerak pelan. Kuusap lembut benda hitam yang sudah agak kusam tersebut, hingga sepasang earphone ini lantas kuletakkan pada kedua telingaku. Satu tarikan napas panjang, dan tiba pada tarikan ketiga. Tombol putar itu ku tekan. Yang tadinya hanya suara deburan ombak berkejaran, kini mulai terdengar satu baris suara seseorang yang telah lama menghilang.

Gadis sulungku tercinta

Apakah kamu mendengarkan suara saya? Suara yang saya buat hanya untuk kamu. Suara di mana hari itu… kamu menangis sendiri di tengah gulita malam.

Saya tahu, maaf tidak akan menjadi obat untuk luka yang telah saya perbuat. Namun kamu tahu, anakku? Sekuat apa pun saya bertahan, kita telah tiba pada waktu di mana semesta telah menggariskan. Selama hidup, bapak tidak pernah menjadi bapak yang baik untuk kamu, mama, dan adikmu. Kesalahan-kesalahan yang telah saya lakukan tentu saja tidak mudah untuk dimaafkan. Hingga langit dan seisi dunia pun ikut menghukum saya, dengan memisahkan saya dan keluarga bapak.

 Nak, saya yakin gadis bapak ini telah tumbuh menjadi seseorang yang tangguh. Seseorang yang kini mulai mengenal bagaimana cara semesta bekerja. Hah, hidup memang seperti itu. Pasang surut itu suatu hal yang pasti ada. Serupa roda yang berputar, fase-fase yang akan kamu lalui bukan untuk membuatmu berhenti. Tapi membuat kamu belajar banyak hal sampai kamu tiba di tujuan kamu.

 Sebagai sulungnya bapak, jaga mama dan adikmu baik-baik ya.

Separuh senja merah bata itu tahu hal ini akan terjadi. Senja di langit sore itu kini ikut berduka untukku hari ini. Suara camar memekik halus di antara deburan ombak dan membelah kesepian, ikut menyuarakan perasaannya. Belum sempat aku menyelesaikan rekaman suara bapak, embun itu telah berubah menjadi suara tangis yang tak bisa dibendung lagi. Isak tangisku bergema di antara sunyi yang nyata.

“Galuh!” Teriak seseorang di belakangku. Aku menoleh, dengan menyisakan air mata yang masih membasahi pipi. Kudapati seorang pemuda sedang berdiri terengah-tengah menatap tepat di kedua manik mataku.

“Bumi tak selamanya memberi kata indah pada seluruh kisah. Dan kisah paling indah, adalah perihal mereka yang tak patah meski telah bertemu kata pisah.”

Pemuda itu melangkah pelan menghampiriku. Ia mengulurkan tangannya tepat di depan wajahku diiringi sebuah sabit yang melengkung di bibirnya. Dia adalah Jagat, seseorang yang akan menjadi titik balik hidupku. Sejak saat itu aku tersadar, bahwa menjadi satu diantara bintang yang kehilangan binarnya, bukan berarti dia harus redup untuk selamanya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Previous post Athirah: Perjuangan Wanita Berhati Surga
Next post Resensi: Pengertian dan Manfaatnya!