Advertisement Section

Unjuk Rasa Tanpa Asa

Jejeran mahasiswa berdiri di depan gerbang sebuah universitas, tempat di mana mereka menimba ilmu. Barisan paling depan memegang beberapa spanduk berwarna putih dengan goresan tinta merah. Tulisan tersebut berisi kalimat menentang perihal kebijakan yang diambil oleh pihak kampus.

Matahari yang kini sejajar di atas koordinat kepala manusia, semakin meningkatkan tensi emosi para mahasiswa. Tetes demi tetes keringat tak mampu memadamkan bara di dalam hati. Sisi simpati mereka coba berbicara lewat aksi.

“Bungkam melihat yang teraniaya, bukankah itu tak sesuai dengan prinsip universitas kita tercinta?” Mata pemuda itu memerah. Panas mungkin menjadi salah satu alasan mengapa emosinya kian susah dikendalikan. Namun, jangan lupa, saat ini, ia sedang memperjuangkan hak rekan-rekannya.

Sorakan pendukung argumen mengudara. Gemanya menggetarkan jiwa tiap-tiap mahasiswa. Kemanusiaan, sesederhana itu yang sedang mereka perjuangkan.

“Menyembunyikan pelaku kekerasan seksual demi nama baik yang memang sudah seharusnya tercoreng, apakah itu pilihan yang bijak? Kita menimba ilmu di sini untuk menjadi sosok terdidik, namun sayangnya yang mendidik justru masih membutuhkan didikan. Kita di sini mengharap ilmu dari sosok yang terpelajar. Sayangnya, sosok itu masih memerlukan bahan ajar. Rasa aman dan sisi kemanusiaan seharusnya dapat dengan mudah diberikan. Tak perlu kami memohon-mohon seakan hak kami tak bertuan.”

Pemuda itu menurunkan alat pengeras suara, ia tarik napas sedalam mungkin, sebelum akhirnya pita suaranya kembali terbuka guna menyuarakan keadilan.

Baca juga: Humor Polisi: Mulai dari Kucing hingga Kekerasan Seksual 

Uniknya, tak terdengar sedikit pun getaran dari rentetan kata yang pemuda itu gemakan. Membuktikan bahwa kegentaran telah lenyap, habis terlahap rasa kecewa juga amarah.

Di sisi lain, seorang pria yang kini menatap gerombolan mahasiswa dari balik jendela mobilnya tersenyum miring. Evan merupakan pemuda dengan keberanian yang mungkin tak seberani dirinya, pria dengan jenggot yang sudah memutih mengakui hal itu.

***

Evan melangkahkan kaki dengan tergesa-gesa. Melihat seluk beluk kafe yang terbilang sepi itu selama beberapa detik. Harga menu kafe tersebut yang jauh dari kata terjangkau membuat suasana kafe menjadi benar-benar sepi, setidaknya itu yang ada di pikiran Evan saat ini. Pemuda itu masuk dengan langkah hati-hati. Ia menelan ludah saat melihat pria tua yang sudah tak asing lagi baginya. Seharusnya ia sudah dapat menduga hal ini. Pria itu menatap tajam ke arah Evan. Senyum tipis yang melengkung di bibir keringnya seakan pertanda adanya malapetaka.

“Silakan duduk dan pesan apa yang sekiranya saudara inginkan,” ucap pria tua itu.

Pemuda tersebut patuh untuk duduk. Namun meski begitu, mata elangnya masih menatap tajam ke arah pria tua tersebut. “Mohon maaf, Pak Zul yang terhormat. Saya menginjakkan kaki ke sini bukan untuk hal itu. Melainkan menanyakan rincian data mengenai latar belakang keluarga saya yang dikirim kepada saya. Pak Zul yang mengirim, benar begitu bukan?”

Evan mengangkat ponselnya. Menampilkan riwayat obrolan yang ia maksud. Pria itu merespon dengan kekehan pelan. Gigi emasnya sedikit terlihat saat ia menertawakan bocah ingusan yang sepertinya perlu sedikit dijinakkan, setidaknya itu pendapat pribadinya.

“Ibumu harus segera dioperasi. Adikmu menunggak uang sekolah selama hampir setengah tahun. Ayah? tidak punya. Mungkin sebenarnya kamu punya ayah, hanya saja ayahmu terlalu sibuk membela hak orang lain hingga akhirnya kini hanya meninggalkan nama. ”

Mendengar perkataan tersebut, Evan bersiap menerjang pria tua itu. Namun seseorang dengan pakaian serba hitam yang sedari tadi setia berdiri tepat di samping Zul menahannya.

Evan mengepal tangan kanannya, coba ia salurkan segala emosi lewat kepalan tangan tersebut. Kematian sang ayah tentu bukan sesuatu yang Evan harapkan. Di sisi lain, tak memiliki cukup uang untuk biaya operasi ibu memang menjadi sesuatu yang selalu ia pikirkan semenjak dokter mengatakan hal tersebut satu minggu lalu. Dirinya sendiri? Tentu ia sudah berusaha dengan maksimal. Mengambil beberapa pekerjaan paruh waktu, namun uang yang ia kumpulkan masih belum cukup. Ia bahkan bermaksud meminjam uang, tetapi sayang utang mereka di bank sudah menumpuk.

Pak Zul menyodorkan cek kosong ke arah Evan. “Tulis nominal sebanyak apapun yang kamu mau. Sebagai gantinya, hentikan aksi tidak pentingmu itu. Berhentilah menjadi pahlawan kesiangan. Kamu harus ingat, nyawa ibumu hanya satu.”

Evan menghela napas sedalam yang ia bisa. Matanya terpejam untuk beberapa saat. Pak Zul benar, nyawa ibunya hanya satu. Namun di sisi lain, ia tak ingin berhenti membela para korban dan rekan-rekannya.

“Ingat, nyawa ibumu hanya satu. Bukankah dokter sendiri yang mengatakan bahwa ibumu harus segera dioperasi. Jangan lupakan juga, rekan-rekan yang kamu bela tidak akan bertanggung jawab atas kematian ibumu dan tak akan mau tahu bila nantinya adikmu terpaksa dikeluarkan dari sekolah sebab menunggak terlalu lama.

Evan sadar, apa yang dikatakan Pak Zul ada benarnya juga. Ibunya, jelas Evan tak ingin kehilangan wanita yang paling ia cintai. Adiknya, Evan juga tak ingin adiknya harus harus putus sekolah sebab terkendala biaya. Apalagi adik perempuannya sering kali bercerita, tentang ia yang ingin berkuliah di tempat yang sama seperti Evan sebab suka dengan warna almameter kampus kakaknya.

Dengan tangan bergetar, Evan meraih cek dan menulis nominal angka yang ia perlukan.

Kembali, kisah yang sama dengan tokoh yang berbeda akan terulang kembali.

Ilustator: Afifah Azzahra

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Previous post Kiat Hidup Produktif Ala Maudy Ayunda
Next post Film: Keadilan untuk Seorang Disabilitas