“Bahasa dan Sastra Indonesia” KTM atau “Sastra Indonesia” Bu Wiyatmi?
Semua mahasiswa Sastra Indonesia salah pilih program studi (prodi). Silakan cek KTM (Kartu Tanda Mahasiswa) mahasiswa Sastra Indonesia, lihat prodi yang tertulis di sana. Tertulis Bahasa dan Sastra Indonesia, bukan? Salah satu yang peduli akan kesalahan penulisan prodi di KTM mahasiswa Sastra Indonesia barangkali hanyalah Ketua Prodi periode sebelumnya, Bu Wiyatmi, yang sekaligus menjabat Ketua Jurusan.
Penulisan Prodi di KTM ini yang sering menyebabkan masalah ketika kami, mahasiswa Sastra Indonesia, membuat surat ataupun proposal yang ditujukan untuk Bu Wiyatmi. Suatu ketika saya membuat surat permohonan untuk ujuan susulan mata kuliah Pancasila saat semester satu, saya harus merevisi surat tersebut sampai 6 kali. Betul, 6 (enam) kali. Padahal hanyalah setebal 1 lembar.
“Bu, sebenarnya apa yang salah dari surat yang saya tulis ini?” tanyaku ketika memberikan surat revisi keempat. Bu Wiyatmi, yang awalnya menutupi kesalahan saya akhirnya memberikan clue untuk memcahkan permasalahan yang saya hadapi.
“Sampeyan ki mahasiswa nendi? Nulis prodi kok salah. Aku ora ngroso dadi Kaprodi Bahasa dan Sastra Indonesia,” jawabnya, seingat saya demikian. “Bahasa dan Sastra Indonesia, benar seperti ini, kan?” tanyaku sendiri dalam hati. Apakah saya, yang waktu itu tidak terlalu dekat dengan KBBI dan PUEBI, salah dalam menulis “Bahasa dan Sastra Indonesia”? apakah “dan” harus ditulis “Dan”?
Menyiasati keraguan dan ketidaktahuan saya perihal penulisan prodi yang benar, akhirnya digunakanlah huruf kapital di redaksi tersebut:
NAMA: MOHAMAD NURSAID RAHMATULLAH
PRODI: BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
NIM: 17210141036
ROMBEL: A – 2017
Kemudian diserahkanlah surat permohonan itu kepada Kaprodi Sastra Indonesia.
Salah. Revisi kelima. Frustrasi juga akhirnya. Jiwa pemberontak saya akhirnya muncul, dengan bodohnya saya mendebat. Saya bilang, “Ini lho, Bu (menunjukkan KTM). Tertulis Bahasa dan Sastra Indonesia. Tidak ada yang salah dari penulisan saya.”
Sudah jelas, saya kalah telak walau membawa identitas yang waktu itu saya anggap sebagai kebenaran mutlak dikeluarkan oleh UNY secara resmi/asli/legal/terverifikasi. Bu Wiyatmi menjawab begini, “Saya itu Kaprodi Sastra Indonesia. Saya gak mau tanda tangan kalau di situ masih tertulis Bahasa dan Sastra Indonesia.”
Revisi terakhir saya menulis Sastra Indonesia tanpa menggunakan kapital, karena kejengkelan saya sudah reda. Hikmah dari revisi tersebut, saya bisa menunjukkan kesalahan mereka yang memiliki kasus sama. Saya akan dengan songong bilang, “Salahmu ki ning penulisan Bahasa dan Sastra Indonesia.”
Sampai hari ini, Kartu Tanda Mahasiswa angkatan setelah saya (2018 dan 2019) masih konsisten tertulis Bahasa dan Sastra Indonesia. Kita tidak bisa menyimpulkan bahwa penulisan di KTM merujuk kepada nama jurusan. Jika jurusan, maka seharusnya tertulis “Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia”. Entah siapa yang memulai memutuskan menggunakan “Bahasa dan Sastra Indonesia, entah siapa yang mengawali menetapkan penggunaan “Sastra Indonesia”. kesimpulannya, manakah yang sebenarnya mutlak?
Prodi Sastra Indonesia sendiri terdapat 2 paket mata kuliah konsentrasi, yang fokus mempelajari sastra dan yang fokus mempelajari bahasa (linguistik). Melihat hal tersebut (konsentrasi sastra dan linguistik), jangan-jangan “Sastra Indonesia” hanyalah pendapat subjektif dosen tertentu yang dipropagandakan kepada mahasiswa.
Sudah lah, sudah ya.
Baca KLENENGAN di lppmkreativa.com atau tulisan Nursaid lainnya