Penjual Gulali Tidak Lekang dimakan Zaman
Gulali merupakan jajanan legendaris yang memiliki citra rasa manis, bertekstur lengket yang ditaburi tepung. Proses pembuatan gulali dilakukan secara tradisional dengan bahan yang sederhana, yakni menarik lelehan gula menjadi serat-serat yang unik. Senin (21/08/2023), jarum jam menunjukkan pukul 06.30 WIB, seorang wanita lanjut usia memikul dagangannya menuju tempat makan Soto Seger Hj. Fatimah yang menjadi tempat untuk menjajakan dagangannya.
Setiap pagi, Sayem (60) bertemu dengan penggemar gulali seraya menunjukkan senyum yang ramah sembari menarik lelehan gula menjadi serat yang tipis. Selain itu, ia juga menjajakan aneka mainan dan jajanan lainnya, yaitu opa angin. Rupanya ia berasal dari Desa Cawas, Kabupaten Klaten yang bekerja untuk bertahan hidup hingga Kota Bengawan. Ia sengaja memilih Kota Surakarta untuk menjajakan gulali karena tanpa sebab. Tempat singgah yang ia sewa sebatas kontrakan di daerah Kratonan, Kecamatan Serengan.
Tidak hanya membuka lapaknya di depan Soto Hj. Fatimah, kawasan Tipes, Kecamatan Serengan, Kota Surakarta untuk mengais rezeki. Ia rela menjajakan dagangannya di beberapa sekolah dasar. Tidak ada kerabat maupun keluarga yang tinggal bersamanya. Rutinitas sehari-harinya digunakan untuk menjajakan gulali rambut nenek untuk bertahan hidup sendirian. Harga jajanan yang ditawarkan tergolong murah dengan harga Rp5.000 untuk gulali, sedangkan opa angin Rp10.000.
Sebelumnya, Sayem telah berjualan gulali rambut nenek sejak 40 tahun lamanya. Saat itu kedua kakinya masih kuat untuk berkeliling sambil memikul jajanan legendaris itu. Seiring berkurangnya umur, ia memilih menetap di lapak karena kondisinya yang tidak lagi prima. Penghasilnya hanya bergantung dari pembeli. Saat lapaknya ramai pembeli, ia bisa mengantongi Rp300.000 dalam sehari. Berbanding terbalik dengan kondisi tersebut, ia hanya mendapatkan untung kurang dari setengahnya dalam sehari.
Wahyu (41) dan Rita (38) merupakan penggemar gulali yang ikut melariskan dagangan Sayem. Tidak hanya membeli jajanan tersebut, mereka juga mengenalkan jajanan tradisional tersebut kepada dua anaknya, yakni Fika (8) dan Rivan (6). Mereka membeli dua gulali rambut nenek dan empat opa angin. “Anak-anak sukanya yang manis-manis. Tapi yang ini legend (gulali rambut nenek). Kalau saya dan suami suka opa (angin) karena garing sama manis-gurih,” kata Rita.
Namun, maraknya makanan yang semakin bervariatif dan lebih modern berimplikasi pada perputaran makanan tradisional yang mampu menggeser eksistensi gulali semakin dipandang sebelah mata. “Sebenarnya rambut nenek ini sama kayak makanan manis kekinian. Cuma karena sangat jarang yang meregenerasi, jadi anak-anak (kaum muda) nggak tertarik lagi,” ujar Wahyu.
Bertemu kembali dengan penggemar jajanan jadul yang rindu dengan lembutnya gulali menjadi alasan Sayem tetap menjual jajanan tersebut terlepas dari eksistensi yang semakin tergerus. “Sampai sekarang masih ada yang beli, ya saya tetap jualan karena yang cari (gulali rambut nenek) tetap ada peminatnya,” ujar Sayem saat menarik lelehan gula.
Status kehidupan Sayem yang bertugas menafkahi dirinya sendiri dan keluarga jauhnya turut berkewajiban mendapatkan penghasilan. Bermodal keahlian membuat gulali rambut nenek, ia tidak goyah dengan profesinya. Walaupun harga gula sebagai bahan pokok yang terus melejit, ia tidak berniat untuk menaikan harga gulali rambut nenek. Ia percaya strategi tersebut dapat mengundang penikmat gulali rambut nenek untuk menikmati jajanan legendaris tersebut.
Sayem tidak ingin berpuas diri dengan hasil yang didapatkan seorang diri. Setiap seminggu sekali, ia menyempatkan pulang ke kampung halamannya di Cawas, Klaten. “Seminggu sekali saya pulang ketemu keluarga, kalau tiap hari juga gabisa nanti gak cukup uangnya” ujar Sayem sambil menunggu datangnya pembeli.
Penulis: Yasminun Ardine Issudibyo
Editor: Salma Najihah