Advertisement Section

Perempuan yang Pergi di Bulan Mei

Perkebunan tebu itu kering kerontang terpanggang panas matahari bulan Mei. Daun-daunnya yang panjang dan hijau tua, sebagian kering dan menyentuh tanah. Bunga-bunganya yang putih berubah warna jadi kecoklatan dilapisi debu.

Bukit-bukit menyembul di kejauhan. Pohon-pohon waru terlihat rindang antara padang yang luas. Daun-daun ketapang berguguran ke tanah, meninggalkan batang dan rantingnya yang kering, berbaris sepanjang jalan.

Panas dan berdebu, adalah keadaan yang senantiasa hadir di bulan Mei. Menyambut setiap orang yang datang dengan bermacam alasan. Gambaran yang begitu akrab dan seperti tak pernah berganti. Gambaran yang terus muncul di benakku, pada setiap datang bulan Mei.

Mei, akan menjadi bulan paling sibuk dari bulan-bulan lain di tempat itu. Mei adalah bulan yang penuh kegembiraan bagi buruh-buruh yang akan mengadu nasib di areal tebu milik pabrik gula. Menjadi buruh tebang tebu, buruh lodeng¹, atau membuat warung dadakan di areal tebu.

Bulan di mana kampung-kampung akan jadi sepi pada siang hari. Sales perabotan rumah tangga akan ramai mengetuk pintu selepas magrib, untuk menawarkan barang.

Sebuah truk pengangkut tebu, berjalan terseok-seok di jalan tanah yang kurang rata. Berjalan sangat pelan tiap kali melewati tanjakan. Mengerang seperti keletihan karena membawa muatan yang melewati batas maksimum. Jalan tanah yang dilewatinya, menghamburkan debu yang mengaburkan pandangan mata.

Hamparan areal tebu milik pabrik gula yang luas dan kering itu, masih menjadi tempat orang-orang memeras keringat dalam tubuhnya untuk dijadikan lembar-lembar rupiah. Angin bulan Mei yang berembus di atasnya, menempelkan laseng² ke tubuh orang disekitarnya. Membuat sekujur tubuh mereka jadi hitam. Menyisip antara rambut kepala yang sebagian mulai memutih.

Ada rasa haru yang datang, setelah rindu yang bertahun-tahun di tahan menemukan penawar. Penawar kerinduan, tak lain adalah tempat berdebu yang menyelimuti nasib penduduknya di dalam kemiskinan.

Ada pula rasa kehilangan dan sesal, karena meninggalkannya pada sekali waktu. Semua campur baur jadi satu. Mengundang kenangan-kenangan yang ada di dalam angan untuk bermain kembali. Membawa ingatanku mengunjungi kenangan lain, dan kehilangan yang lain.

*

Ma, biasa aku memanggilnya, akan pergi. Ia adalah perempuan pertama yang aku lihat dengan pikiran seorang laki-laki dalam masa remaja. Pikiran yang membuat mataku mulai memilih yang ingin dilihat.

Tapi, ia akan pergi. Ia akan pergi jauh, ke tempat di mana kami tak bisa bertemu setiap hari. Aku tak bisa melihatnya untuk waktu yang lama.

Ia pun tak tahu, akan pergi ke mana, apa nama kampung yang ia tuju. Apakah kampung itu banyak ditumbuhi pohon waru yang rindang, atau ketapang yang kering di musim kemarau. Apakah ia akan suka dengan tempat baru itu, ia bilang, tidak tahu, seperti apakah kampung yang ditinggalinya kelak.

Tapi, ia harus pergi, sendirian. Perempuan yang belum genap berusia delapan belas itu mesti pergi sendirian, ke tempat asing. “Ini adalah wujud bakti anak kepada orangtua,” kata Ma, pada kesempatan terakhir kami bertemu.

Ia mengucapkannya dengan suara berat. Suara yang mengandung keterpaksaan. Ada keengganan di dalamnya. Perempuan yang baru menginjak kelas dua Aliyah itu mesti menanggung beban berat. Beban yang sudah pasti diketahui semua orang waktu itu, termasuk aku. Tidak ada kalimat keluar dari mulut kami. Membiarkan keheningan terjadi dalam waktu yang lama.

Hari itu begitu lengang, kami mendapati rumah-rumah yang pintunya pada tertutup. Banyak ladang dibiarkan tidak digarap. Orang-orang kehilangan gairah bekerja. Perkebunan mereka tak menghasilkan apa-apa. Hasil kebun mereka tak laku dijual. Bukan karena kualitasnya buruk, tapi keadaan tidak memungkinkan.

Radio memberitakan, sedang terjadi krisis. Orang-orang tidak mengerti, mengapa krisis membuat tengkulak tak mau membeli hasil kebun mereka. Ada pun yang mau membeli, tapi harganya sangat murah. Padahal hasil kebun waktu itu sangat bagus. Banyak petani memilih membiarkan hasil kebun mereka. Panen raya yang biasa disambut dengan gembira oleh segenap petani, kini disambut dengan air mata. Petani-petani bangkrut. Hutang mereka ada di mana-mana.

Untuk mengurangi beban orangtua dan berharap dapat membantu keluarga, perempuan-perempuan yang masih berusia remaja berbondong-bondong mendatangi agen penyalur tenaga kerja wanita (TKW) ke luar negeri. Termasuk Ma, yang harus berhenti sekolah.

Kami tak banyak bicara, hanya Ma, yang sedikit bercerita, lalu disambung keheningan anatara kami, menunggu Ma, kembali memecah keheningan.

“Sebentar lagi aku tak dapat melihat perkebunan-perkebunan luas yang kering ini untuk waktu yang lama,” kata Ma.

“Kau bicara seolah akan pergi begitu lama,”

“Sekarang, daun-daun ketapang itu mulai berwarna coklat. Sebentar lagi, daun-daun itu akan gugur. Tapi, saat mereka gugur, mungkin aku tidak bisa melihatnya,”

Kami mulai bicara bergantian. Tidak ada yang menjawab saat salah satu dari kami bertanya. Barangkali, kami tidak memahami pertanyaan satu sama lain, atau sebenarnya kami paham, tapi tidak tahu mesti menjawab apa.

“Aku tak akan melihat pohon Waru, antara perkebunan kering di musim kemarau untuk waktu yang lama. Berapa musim berganti yang akan aku lewatkan tanpa melihat semua itu. Berapa banyak peristiwa yang akrab akan alpa dari mataku, sampai aku dapat kembali, melihat semuanya lagi,”

Kemudian kami saling berdiam di tempat masing-masing, usai Ma mengucapkan rangkaian kalimat panjang itu.

*

Rupanya itu menjadi kesempatan terakhir kami bertemu. Kesempatan yang rupanya belum lagi datang sampai sekarang. Ma, pergi bersama remaja-remaja lain, mengadu nasib tanpa bekal yang cukup. Pergi di waktu orang-orang kampung seharusnya bahagia, karena bulan Mei, seharusnya disambut dengan penuh sukacita oleh penduduk kampung. Apakah Ma, sudah kembali, setelah pergi di bulan Mei, dua puluh tahun lalu.

 

Yogyakarta, 2018

 

buruh lodeng¹ : [pengucapan yang salah dari kosakata Inggris, loading] buruh pemindah tebu ke

dalam bak mobil.

laseng²            : abu pembakaran dari daun kering.

One thought on “Perempuan yang Pergi di Bulan Mei

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Previous post London Book Fair Undang 12 Pengarang Indonesia
Next post Nyawiji 2 Hantarkan Rindu pada Kampung Halaman