Puisi-puisi Mario F. Lawi
Ketika Jauh dari Ibu
Seorang gadis kecil merindukan
Tarian ibunya.
Ia pernah ikut menari ketika mendengar
Lagu-lagu dari berbagai bahasa
Dalam sebuah masa kalender liturgi
Tak jauh dari tempat ibunya
Memimpin paduan suara sekelompok umat.
Seorang gadis kecil merindukan
Bahasa ibunya.
Ia begitu senang mendengar
Sebuah cerita tentang payung
Yang jatuh dari tangga menuju langit
Di rumah masa kecil kakeknya
Tempat teman-teman sepermainannya
Berbicara dalam dua bahasa.
Seorang gadis kecil merindukan ibunya.
Tangannya menggapai udara
Mencipta seekor burung dan meletakkan
Rindunya sebagai kelepak
Sayap-sayap burung itu.
(Naimata, 2016)
Tiga Kata Amin
Kimberly yang menyebut dirinya sendiri dengan nama Mimy Cantik mempunyai tiga kata Amin yang digunakannya untuk menyebut hal-hal yang berbeda. Jika ia bertanya kepadaku Nana sudah Amin? maka yang dimaksudkannya adalah sudahkah aku mengikuti misa hari Minggu dan berdoa agar gigi-gigi geraham bungsunya lekas tumbuh sebelum jagung-jagung di ladang dikeraskan waktu dan musim panas. Jika ia bertanya lagi Nana pulang dari Amin? maka itu tentu berarti apakah aku baru saja pulang dari gereja, siapa sajakah yang aku temui, adakah anak kecil lain yang lebih cantik dari dirinya yang kugendong selama di gereja? Jika ia mengatakan Amin setelah menyentuhkan ujung-ujung jari kanannya berturut-turut ke dahinya, ke dadanya, ke kanan dan kirinya, dua urutan terakhir terbalik dari yang seharusnya, sambil memejamkan sepasang mata indahnya, maka tentu ia sedang mengakhiri doa-doa kecil yang bahkan sejak pertama kali dikenalnya tak pernah ada yang tahu rahasia di balik bahasa yang diarahkan kepada Tuhannya itu.
(Naimata, 2016)
Mimy Cantik, Alleluia, Lelaki Tua dan Laut
Mimy Cantik merengek sebelum naik ke meja baca dan memeragakan cara ibunya mengayunkan kedua tangan ketika menjadi dirigen koor Kelompok Umat Basis pada misa Sabtu Alleluya. Napasnya masih belum teratur setelah dikejar-kejar Nero, anjing kecil yang disayangi dan menyayanginya dengan cara yang aneh. Bukan Pasar Malam milik Pramoedya Ananta Toer baru saja saya tamatkan—membuat saya bertanya-tanya siapakah tokoh utama dalam roman tersebut; si ayah atau si anak sulung? Ia meminta saya memutar lagu Aeyuya. Yang ia maksudkan adalah kata alleluia. Itu berarti saya mesti segera membuka video lagu Paskah paling terkenal di Kupang gubahan Handel yang dinyanyikan Royal Choral Society pada Sabtu Alleluya empat tahun sebelumnya. Setelah lima kali mengulang video yang sama, Mimy Cantik mulai merasa lelah dan melirik seorang lelaki tua yang menatapnya dari sampul buku Lelaki Tua dan Laut, terjemahan Indonesia atas The Old Man and the Sea Ernest Hemingway. Mimy Cantik menatap saya yang berdiri tepat di depannya dan bertanya, “Om Nana, ba’i?”
(Naimata, 2016)
Mimy Cantik dan Jumat Agung
Di hadapan salib Kristus yang disandarkan pada kursi beralas tenun ikat Sawu, Mimy Cantik akhirnya menggeleng untuk ketiga kalinya ketika ayahnya memintanya mengecup salib. Ayahnya tiba-tiba teringat akan kokok ayam di suatu tempat dan suatu masa yang jauh, seorang santo yang disalib secara terbalik, dan kerumunan orang-orang yang melemparkan riuh dan cemooh. Empat orang umat sudah berlutut di belakang mereka menanti giliran. Masih dalam dekapan ayahnya, Mimy Cantik dengan tenang berkata, “Tuan Sesus ada bobo pake de.” Mengertilah ayahnya bahwa Mimy Cantik tak ingin mengganggu tidur Tuhannya yang menurutnya hanya menggunakan celana dalam. Tuhan akan bangun dari tidur-Nya jika dikecup, begitu pikir Mimy Cantik sesaat sebelum ayahnya memasukkan uang dalam kotak kolekte yang disediakan dan berdiri meninggalkan salib dan Kristus yang sedih menatap antrean peziarah yang sedang menyiapkan cara terbaik mengecup Diri-Nya.
(Naimata, 2016)
*Puisi-Puis di atas pernah dimuat di Jurnal Kreativa
*Featured image: Pixabay