Sabda Tukang Becak
Matahari lagi panas-panasnya waktu saya melewati jalan Colombo. Tiba-tiba saja, mata saya tidak sengaja melihat baliho besar bertuliskan “Sedang ada militer silaturahmi”. Hampir saja jantung saya copot karena kaget, sambil merenung dalam hati, “Kok bisa ya.”
Kemudian, ada tukang becak yang juga lewat di jalan Colombo, bilang pada saya, “Kok di kampus ada tentara ya mas?”
“Nggak tahu pak, mungkin mau sekolah lagi biar pinter,”
“Oh, biar ndak nembak’i orang sembarangan lagi ya mas?”
“Bisa jadi pak,”
*
Penasaran dengan tulisan yang ada di baliho, sayapun masuk ke dalam. Dan, astaghfirullah, banyak dedek-dedek gemes. Ada juga mas-mas dan mbak-mbak yang nggak kalah nggemesinnya.
Kalau dedek gemes mah bikin adem ngeliatnya, tapi kalau liat mas dan mbak yang nggemesin itu, uh. Uhlah pokoknya.
Melihat dedek-dedek yang masih polos dan senang bertemu dengan orang yang konon mencalonkan diri sebagai ketua RT (walaupun yang datang bukan yang nyalonin ketua RT), rasanya nyesek banget. Nyeseknya itu karena mbak dan masnya yang nggemesin itu malah nyuruh dedeknya buat mencontoh calon ketua RT.
Uh, mbak dan mas yang nggemesin itu belum pernah ndengerin sabda tukang becak kali ya. Eh, jangan-jangan pembaca juga belum tahu sabda tukang becak. Baiklah, beginilah sabda tukang becak itu.
“Kalau tentara masuk kampus dan mahasiswanya diam saja, saya bersumpah untuk tidak akan menyekolahkan anak saya sampai sarjana,” begitu katanya. Entah kenapa pak tukang becak bilang begitu, sayapun tidak tahu.
Setelah melihat dedek-dedek gemes, saya jadi kepikiran untuk membenarkan omongan pak tukang Becak itu. Kan katanya mahasiswa itu disekolahin biar pinter, kalau tentara disekolahin biar jadi tega. Kalau sampek mahasiswa niru tentara, berarti mahasiswanya jadi pinter negain orang. Kok saya jadi suudzon banget yak.
Tapi kalau di pikir-pikir lagi, mbak dan mas yang nggemesin itu nggak bisa disalahin. Soalnya, kan mereka bukan tukang becak, hehe. Atau pembaca mau bikinin alasan mas dan mbak yang nggemesin itu?
Ah sudahlah. Semakin panjang saya menulis, akan semakin panjang cerita yang tidak pantas. Kan belum tentu juga omongan saya ini benar adanya. Akhir kata, wabila ingin tahu kebusukan tentara, jadilah tukang becak. Eh, emang udah siap jadi proletar?