
Kesenian: Antara Aku dan Kau #2
Dalam lamunan panjang setelah wajah bingung Boneng tidak lagi di depan mataku, sebenarnya saya kurang sepakat bila hanya nggrenduli pihak penonton yang jenisnya bermacam-macam.
Ada sebuah kemungkinan lain yang perlu dikaji, sebuah pemahaman seniman terhadap masyarakat. Pengetahuan tentang pola pikir masyarakat yang harus dimiliki oleh seniman. Tidak akan memiliki arti apa-apa, sebuah karya tanpa masyarakat.
Poin ini tidak boleh lepas dalam proses kesenian. Pemahaman seniman terhadap masyarakat kadang terlihat dari kurang relevannya karya dengan kondisi sosial masyarakat. Ini terbukti di Yogyakarta, masih banyak kelompok teater yang mementaskan naskah-naskah kritik Orde Baru. Itu tidak salah, tetapi bukankah ada banyak permasalahan lain yang bisa diolah menjadi ide pokok pementasan selain Orde Baru.
Tiba-tiba saya teringat cerita dari Joni Aridianata pada suatu sore di kediamannya. Dia menceritakan sebuah peritiwa penting dalam kunjungannya ke Belanda bersama rombongan dan Ws Rendra.
Ketika itu mereka makan di sebuah restoran. Selepas makan, Rendra diajak ngobrol seorang pelayan restoran asli Indonesia. Sedangkan Joni dan beberapa teman menunggu di luar. Saat itu mereka terikat sebuah janji pertemuan dengan seseorang, namun Rendra masih asik mendengarkan dan berbicara dengan pelayan tersebut. Padahal waktu sudah kelewat sekitar satu jam dari perjanjian.
Rendra belum juga keluar. Akhirnya Joni inisiatif untuk mengingatkan. Namun, tanpa ia duga, Rendra malah marah-marah. Bahkan kata Joni, dia sangat marah. Kemudian berkata, “Siapa lagi yang akan mendengarkan orang-orang seperti dia kalau bukan kita-kita ini.”
Cerita itu membenarkan bahwa kesenian erat kaitannya dengan masyarakat. Dalam kehidupan nyata dan karya. Sehingga sebisa mungkin selalu mewujudkan usaha berkesenian yang bertanggung jawab.
Semua produk seni mengandung ideologi. Ideologi tersebut dibungkus dengan konsep menggunakan media (bisa bahasa, suara, gerak, cat dan lain-lain). Konsep dan media yang membungkus ideologi, kadang kurang perhatian. Orang bilang hal itu merupakan teknis saja. Tapi tanpa teknis semacam ini, antara seniman dengan penikmat tidak akan pernah ada jembatan.
Namun, tidak ada yang berhak melarang seniman bervisi mencerdaskan masyarakat atau untuk membentuk selera masyarakat dengan konsep dan media yang sulit dimengerti. Tapi dengan catatan, seniman harus menyiapkan berbagai solusi untuk membangun kerangka berpikir penikmat sebagai usaha pendekatan karya. Kemudian mereka dibebaskan untuk mengambil kesimpulan sendiri.
Kurangnya ruang interaksi (dalam bentuk apapun) seniman dengan penikmatnya, menjadi sebuah persoalan yang perlu dibahas. Mungkin ini merupakan sebuah langkah yang sulit mengingat jumlah penikmatnya. Namun, ruang ini mempunyai kekuatan bahwa seniman bertanggung jawab atas gagasannya.
Kadang saya punya pertanyaan spesifik terhadap siapa yang bisa disebut seniman, penyair, teaterawan. Siapa? Apakah dengan menerbitkan puisi atau puisi itu dimuat di media bisa disebut penyair? Bagiku itu terlalu singkat. Mungkin ini permasalahan yang akhirnya bisa menjawab eksistensi Chairil Anwar tetap bertahan.
sumber gambar: Hipwee