Klitih: Tinta Hitam yang Menghantui DIY

Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan salah satu provinsi di Pulau Jawa dengan eksistensi wisata yang mumpuni. Tidak hanya wisata, tetapi juga kuliner dan pendidikan. Rumusan-rumusan julukan yang hadir tentu saja relevan dengan eksistensi tersebut, seperti julukan Kota Pelajar, Kota Wisata, Kota Budaya, dan masih banyak lagi. Sebagai implikasi julukan yang ada, siapapun orangnya pasti akan menemukan kenyamanan dan keamanan saat berada di kota ini. Namun, betulkah wacana tersebut masih bertahan? Setelah sepercik tinta dituangkan lalu menyebar bagaikan wabah yang menodai prespektif kenyamanan dan keamanan itu sendiri. Tinta tersebut hadir dengan wujud fenomena sosial remaja yang beberapa hari belakangan ini meresahkan warga DIY. Suatu fenomena sosial bernama klitih. Mungkin terdengar asing bagi mereka yang bukan asli dan menetap di DIY. Dari namanya pun seperti tidak mengindikasikan suatu fenomena yang menakutkan, seperti begal atau jambret. Akan tetapi, perlu diketahui bahwa fenomena tersebut berada pada tingkat urgensi yang tinggi, bahkan sudah mengarah pada tindak kriminal yang harus segera ditangani.

Djarot Heru Santosa, Dosen Sastra Jawa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada menyatakan bahwa arti kata “klitih” yang sebenarnya tertuang dalam kamus bahasa Jawa adalah aktivitas menghirup udara segar di luar rumah pada malam hari. Seiring sejalannya waktu, pada masa kini, kata tersebut telah mengalami pergeseran makna ke arah konotasi negatif yang tercipta dari kelompok remaja yang berkeluyuran mengendarai sepeda motor pada malam hari dengan melakukan tindak kejahatan pada orang lain.  Pergeseran arti klitih yang mengindikasi kegiatan tindak kejahatan tersebut adalah keliling golek getih (keliling mencari darah).  Ciri khas kelompok remaja yang melakukan klitih ditandai dengan aktivitas kejahatan dengan cara membacok atau melukai korban, baik korban secara acak yang mereka temui di jalan atau sudah tertarget (musuh antarsekolah) menggunakan senjata tajam hingga berdarah. Contoh senjata tajam yang biasa dipergunakan diantaranya celurit, pedang, pedang bergerigi, pisau, botol minuman keras, dan sebagainya. Waktu yang mereka pilih untuk beroperasi melancarkan tindakan kriminal tersebut, yaitu pada malam hingga dini hari, sekitar pukul 21.00—03.00 WIB. Kelompok ini tidak memandang tempat, mereka bisa melakukan klitih di mana pun, tidak hanya di tempat yang sepi, tetapi juga di lingkungan yang padat rumah penduduk.

Fenomena klitih sangat meresahkan masyarakat. Dilansir dari cnnindonesia.com kasus klitih sepanjang tahun 2021 di DIY berjumlah 58 kasus.  Jumlah tersebut mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya. Biasanya kriminalitas klitih mencapai masa puncak saat libur peralihan semester, yaitu pada bulan Juni dan Desember. Pada bulan tersebut, masyarakat harus senantiasa meningkatkan kewaspadaan dan menghindari keluar rumah, khususnya pada jam-jam larut malam. Sebab, teror yang tercipta dari adanya klitih tidak segan-segan mampu membuat trauma. Dari beberapa kasus yang terungkap, mayoritas para korban klitih tidak dirugikan secara material atau harta benda karena pelaku tidak mengincar hal tersebut. Lebih dari itu, para korban akan dirugikan atas nyawa mereka sendiri atau segala bentuk kecacatan yang mereka peroleh dari sabetan benda tajam yang pelaku torehkan. Mirisnya lagi, para pelaku klitih adalah mereka yang masih tergolong remaja berusia sekitar 14—19 tahun. Motif pelaku melakukan klitih bermacam-macam, tetapi pada intinya merujuk pada maksud yang sama, yaitu mencari kesenangan, gengsi, dan pembuktian terhadap lingkungan di sekitarnya atau kepada kelompok terorganisir klitih.

Baca juga: Perkumpulan Seni Sastra Mbeling Pentaskan Klitih

Di balik motif-motif yang telah disebutkan di atas, terdapat latar belakang atau faktor yang perlu diungkap dari pemikiran para pelaku yang masih berusia remaja untuk melakukan kegiatan sekeji itu. Bila kita berbicara tentang remaja, pasti bersinggungan dengan masa pencarian jati diri. Pencarian ini mereka lakukan dengan menuangkan berbagai macam warna untuk menjawab rasa ingin tahu dengan mencoba-coba. Rasa keingintahuan ini tidak terlepas oleh peran lingkungan. Lingkunganlah yang akan membentuk warna-warna tersebut. Apabila seorang remaja sudah terlanjur masuk dalam  lingkungan yang tidak tepat seperti salah pergaulan dan ia sendiri pun tidak memiliki fondasi yang kuat atas dirinya, maka dapat dipastikan mudah untuk terjerembab ke dalam arus yang akan merugikan dirinya sendiri pada masa depan. Fondasi inilah yang penting dibangun sejak dini oleh lingkungan keluarga. Lalu, bagaimana bila keluargalah yang meruntuhkan fondasi tersebut? Misalnya, perceraian atau broken home. Tentu peran selanjutnya adalah lingkungan sekolah yang harus mengambil alih. Bagaimanapun ketiganya saling berkorelasi untuk membentuk pribadi seseorang. Dari adanya fenomena klitih membuktikan bahwa faktor-faktor pembentuk pribadi seseorang masih belum selaras dan saling menyeimbangkan. Maka dari itu, dapat menyebabkan upaya pencarian jati diri  yang dilakukan oleh remaja kurang maksimal tertampung dan terarahkan secara postif.

Melalui pernyataan-pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa klitih memberi kerugian bagi siapapun, tak terkecuali pelaku. Usaha preventif dan represif harus terus diupayakan untuk meminimalisir fenomena tersebut. Misalnya, antisipasi melalui usaha preventif dapat dilakukan dengan penyuluhan di sekolah-sekolah terkait pergaulan bebas serta dampak-dampaknya, lalu pelarangan anak dibawah umur untuk memiliki dan mengendarai sepeda motor. Kemudian, untuk usaha represif dapat terus diupayakan oleh pihak berwajib dengan memberi penegakan hukum yang sesuai kepada pelaku klitih. Tidak hanya itu, peran pemerintah daerah juga sangat diperlukan untuk membentuk kebijakan yang mempertegas urgensi penanganan klitih. Menangani klitih bukanlah hal yang mudah, mengingat fenomena ini bukan lagi momok baru di masyarakat. Maka dari itu, sangat dibutuhkan kerja sama dari semua pihak untuk menanganinya. Jangan menganggap fenomena ini hanya isapan jempol semata yang kiranya mudah ditangani. Sebab, klitih telah menjadi tinta hitam yang menodai wacana kenyamanan dan keamanan yang sejatinya milik kota pelajar ini. Mari bersama-sama katakan “TIDAK!” pada tindak kriminal klitih.

One thought on “Klitih: Tinta Hitam yang Menghantui DIY

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Previous post All of Us are Dead: Sebuah Misi Penyelamatan Diri
Next post Opini: Self Healing Bagi Trauma Korban