Advertisement Section

Suara Dari Dunav*

Pemuda-pemuda Hongaria membanjiri jalan-jalan kota. Orang-orang tua, perempuan dan anak-anak kecil yang tak tahu apa-apa mesti meninggalkan rumah untuk mencari keselamatan. Kebun-kebun anggur yang ranum ditinggal pemiliknya. Juga Dunav, kehilangan pengagumnya yang tiap kali berkunjung selalu memuji keindahannya.

Padahal masa-masa kelam itu belum genap dua windu berlalu. Tapi segalanya datang lagi untuk mengulang peristiwa yang sama. Tentara-tentara yang sedang menikmati waktu istirahat, kembali mengokang senjata dan bergerilya.

Mereka belum sempat mencuci diri yang dipenuhi kotoran orang mati. Juga keluarga yang hilang di tengah kekacauan belum juga mereka temukan. Tapi sebuah babak baru telah dimulai dan mesti diselesaikan.

Orang-orang telah meninggalkan kota. Menyisakan bangunan-bangunan tua yang seolah disiapkan untuk mengadu nasib untuk merengkuh antara nafas dan ajal.

Di tiap malam yang hening, tak ada orang yang berani menutup kedua matanya. Sedang siang selalu menghadirkan kebisingan yang harus diteruskan. Tak ada yang boleh terlelap.

*

Jauh dari kota, orang-orang tua, perempuan dan anak-anak terus berjalan kaki. Meninggalkan rumah dengan bekal seadanya. Mereka mulai berjatuhan sebelum sampai di perbatasan. Seperti orang-orang Yahudi yang bermigrasi di masa Perang Dunia.

Orang-orang yang mencari keselamatan, meninggalkan segala miliknya. Berjalan ribuan mil untuk masuk ke dalam barak yang tak lain adalah kuburnya sendiri. Begitupula dengan yang terjadi kali ini. Orang-orang pergi, mencari keselamatan tapi tak pernah tahu nasib apa yang sedang mereka tuju.

Tapi nasib sudah jelas buruk untuk mereka. Lebih buruk dari orang Yahudi yang mati sekalipun. Sebab mereka bermigrasi tanpa suatu alasan apapun. Tak ada perang sedang terjadi. Tak ada pula sekelompok orang yang memburu mereka.

Tapi mereka memilih untuk pergi. Meninggalkan rumah dan kebun anggur yang menunggu dipanen. Meninggalkan anak-anak lelakinya yang sedang turun di jalan-jalan kota. Meninggalkan sungai Dunav yang senantiasa mengalirkan kedamaian.

Tapi orang-orang yang tidak berani ini, lebih memilih untuk bermigrasi. Waktu mereka sampai di perbatasan, sebagian dari mereka tersentak dan menangis. Menyadari darah moyang yang mengalir dalam dirinya akan punah.

Lelaki-lelaki yang mereka tinggal, tak bisa beranak pinak. Tanah moyang yang ditinggali selama berabad-abad akan ditinggal ahli warisnya. Tapi mereka tak punya nyali untuk kembali. Mereka terus berjalan dengan air mata yang terus berjatuhan.

Sampai di perbatasan, mereka pandangi tanah airnya buat terakhir kali. Ada rasa enggan untuk pergi. Tapi ia langkahi juga batas itu pada akhirnya.

 

*Dunav: nama sungai di Eropa yang membentang dari Hongaria sampai Jerman

Sumber gambar: PxHere

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Previous post KMSI Membedah Buku karya Alumni
Next post Gilotin*