
Panduan Menjadi Burung yang Menyenangkan
Dilepas ataupun disangkar, burung akan selalu memiliki alasan untuk dicintai. Untuk mencintai burung kita tidak harus menjadi aktivis makhluk hidup yang membenci burung dalam sangkar, atau menjadi anggota pecinta burung yang kesal ketika burungnya pergi jauh dari sangkar. Toh keduanya sama-sama mencintai dan dicintai oleh burung, baiknya tidak usah kita perdebatkan siapa yang paling cinta di antara keduanya. Terkadang kita adalah burung itu sendiri yang seringkali ngoceh seenaknya di media sosial, karena, di mana ada isu hangat, di situ burung dalam diri kita mengoceh.
Perihal ngoceh, Belum lama ini kita diberikan kabar dari Survei Microsoft yang mengatakan bahwa Indonesia menjadi negara paling tidak sopan berinternet se-Asia Tenggara. Kabar ini cukup mengesalkan karena benar adanya, agaknya kita harus mengerti mengapa Microsoft mengeluarkan pernyataan ini. Alih-alih menjadi koreksi sikap berinternet, masyarakat justru mengamini pernyataan tersebut dengan beramai-ramai ngoceh di laman media Microsoft.
Survei yang dilakukan Microsoft seakan bertolak belakang dengan apa yang ditemukan oleh Expat Insider tahun 2019 lalu. Menurut sumber dari tempo.co, Expat Insider pada tahun 2019 melakukan survei terhadap 20.259 expatriat yang mewakili 182 negara dan tinggal di 187 negara atau. Dari keseluruhan total indeks, Indonesia berada di posisi 29 dari 64 negara, sementara untuk subkategori keramahan, Indonesia berada pada posisi 8.
Menjadi masyarakat yang paling ramah sekaligus paling tidak sopan berinternet, ini terdengar aneh. Melihat ini, barangkali kita bisa memposisikan Microsoft dan dan Expat Insider sebagai kurator dalam kontes burung-burung. Expat Insider menilai burung dari segi sosio-kultural (dan mungkin juga kandang burungnya), sedangkan Microsoft menilai burung dari segi kualitas ngocehnya dalam jaringan media sosial. Lalu kita adalah burung-burung dalam kontes yang menjadi objek survei mereka.
Sebenarnya, dengan dikatakannya Indonesia sebagai negara paling tidak sopan berinternet se-Asia Tenggara, tidak serta merta meruntuhkan anggapan tentang Indonesia sebagai negara paling ramah di dunia. Justru, Indonesia adalah satu dari sekian banyak negara yang mungkin bisa meromantisasi umpatan asu menjadi ungkapan akrab. Jancuk, cuk, dobol, dan sebagainya adalah contoh umpatan yang seringkali kita gunakan sebagai bumbu percakapan. Bahkan juga menjadikan umpatan nama hewan sebagai ungkapan akrab kepada teman.
Masalahnya adalah dalam berinternet, kita kadang abai akan etika berkomunikasi. Saat melakukan percakapan di media sosial, kita lupa/melupakan/tidak mau tahu dengan siapa kita bicara. Saat menemui kasus perselingkuhan yang dilakukan oleh figur publik misalnya. Kita seringkali menuliskan isi pikiran kita dalam suatu komentar/cuitan seakan-akan sedang menjadi orang tua yang sedang menasehati anaknya di ruang tertutup secara intim. Ujaran kebencian, umpatan, pernyataan tidak suka, pengecapan (misalnya: simbol jilbab sebagai kebaikan budi), dan kalimat sarkas lainnya.
Kita terlalu mudah untuk mengejek/merundung orang lain yang tidak kita kenal sama sekali. Padahal kita tidak tahu apa yang sedang ia lakukan untuk proses kreatifnya, untuk kehidupannya sendiri. Memang, apa yang diunggah di media bisa diakses secara publik, namun bukan berarti secara kurang ajar mencemooh dengan seakan-akan menjadikannya sebagai media penghakiman.
Jika saya amati, fenomena seperti ini bukan lagi masalah pencarian eksistensi ataupun jati diri, melainkan sudah menjadi ekstasi itu sendiri. Setelah kita berkontribusi menjadikan sesuatu “viral”, kita seakan menjadi puas dengan mengakatan, “inilah kekuatan netizen Indonesia.” dalam hati maupun dituliskan di media sosial. Dari sini masyarakat “kicau” indonesia menemukan ekstasi dan kepuasan.
Baca Juga: Atmosphere of Reality – Menjadi Nyata dengan Berpameran
Bisa jadi, di kemudian hari ekstasi-ekstasi tersebut berkembang menjadi lebih jelas: fetisisme. Kita kemudian menganggap “kicau-kicau” itu memiliki ruh/kekuatan magis yang menimbulkan gairah tertentu. Gairah yang sulit dihentikan. Gairah yang datang seperti rangsangan seksual, namun dalam bentuk “kicau”. Demi memenuhi hasrat itu, burung-burung dalam diri kita akan mencari tempat untuk berkicau dan membuang tahi di sana.
Sebagai kontestan “kicau burung” yang dilakukan oleh Microsoft, perlu bagi burung menerima hasil yang dipaparkan kurator. Tentu saja kita memiliki hak untuk menanggapi hal tersebut. Kita bisa menjadi burung pentet yang berisik, menjadi cucak ijo yang meniru suara burung lain, menjadi burung kenari yang puitik, atau mengabaikannya seperti burung walet yang lebih tertarik untuk mempercantik sarang.
Demi mencapai tujuan untuk menjadi burung yang menyenangkan, kita perlu mengatur kicauan kita. Bisa jadi, dengan bijaknya kita dalam berkicau, kita akan dipertemukan dengan burung Hudhud yang amat setia kepada Sulaiman.
Microsoft telah memberikan kita fakta demikian, tinggal bagaimana kita selanjutnya. Apakah kita akan menjadi burung paling tidak sopan berinternet se-Asia Tenggara, atau justru meningkatkan prestasi kita sampai ke skala dunia?
Nursaid, setelah merampungkan kepengurusannya sebagai koordinator LSO Pers Damar pada akhir 2020, ia melanjutkan kehidupan dengan menjadi desainer kaus di @leftbackstock sekaligus mengelola idleftback.wordpress.com, redaktur telembuk.com, dan menulis skripsi sebagai mahasiswa Sastra Indonesia UNY dengan kajian hipersemiotik/hiperrealitas. Kehidupan yang menyenangkan.